Papua miskin
Majalahkribo.com, Jakarta- Pemerintah menetapkan ratusan kabupaten sebagai daerah tertinggal di Indonesia. 32 dua diantarnya, berada di Profinsi Papua.
Hal tersebut ditetapkan Presiden Joko melalui Peraturan Presiden. Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.
Suatu daerah dikatakan sebagai Daerah Tertinggal yaitu berdasarkan beberapa kriteria: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibiltas, dan karakteristik daerah.
Dengan Peraturan Presiden yang telah ditetapkan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019. Dari 122 kabupaten yang di tetapkan sebagai daerah tertinggal, 32 Kabupaten diantaranya berada di Provinsi Papua dan menjadi yang terbanyak di Indonesia diantaranya sebagai berikut :
Provinsi Papua Barat: Kab. Teluk Wondama, Kab. Teluk Bintuni, Kab. Sorong Selatan, Kab. Sorong, Kab. Raja Ampat, Kab. Tambrauw, Kab. Maybrat, Provinsi Papua: Kab. Merauke, Kab. Jayawijaya, Kab. Nabire, Kab. Kepulauan Yapen, Kab. Biak Numfor, Kab. Paniai, Kab. Puncak Jaya, Kab. Boven Digoel, Kab. Mappi, Kab. Asmat, Kab. Yahukimo, Kab. Pegunungan Bintang, Kab. Tolikara, Kab. Sarmi, Kab. Keerom, Kab. Waropen, Kab. Supiori, Kab. Memberamo Raya, Kab. Nduga, Kab. Lanny Jaya, Kab. Memberamo Tengah, Kab. Yalimo, Kab. Puncak, Kab. Dogiyai, Kab. Intan Jaya dan Kab. Deiyai.
Yang diikuti oleh, Provinsi NTT sebanyak 16 Kabupaten serta Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebanyak 14 Kabupaten.
Sisanya di ikuti oleh Provinsi lain di Indonesia. Berikut ini daftrar nama-nama kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal :
Provinsi Aceh, Kab. Aceh Singkil.
Provinsi Sumatera Utara: Kab. Nias, Kab. Nias Selata, Kab. Nias Utara, Kab. Nias Barat.
Provinsi Sumatera Barat: Kab. Kepulauan Mentawai, Kab. Solok Selatan, Kab. Pasaman Barat.
Provinsi Sumatera Selatan: Kab. Musi Rawas, Kab. Musi Rawas Utara.
Provinsi Bengkulu: Kab. Seluma.
Provinsi Lampung: Kab. Lampung Barat, Kab. Pesisir Barat.
Provinsi Jawa Timur: Kab. Bondowoso, Kab. Situbondo, Kab. Bangkalan, Kab. Sampang.
Provinsi Banten: Kab. Pandeglang, Kab. Lebak.
Provinsi NTB: Kab. Lombok Barat, Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Sumbawa, Kab. Dompu, Kab. Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Lombok Utara.
Proinsi. Kalimantan Barat: Kab. Sambas, Kab. Bengkayang, Kab. Landak, Kab. Ketapang, Kab. Sintang, Kab. Kapuas Hulu, Kab. Melawi, Kab. Kayong Utara.
Provinsi Kalimantan Tengah: Kab. Seruyan.
Provinsi Kalimantan Selatan: Kab. Hulu Sungai Utara.
Provinsi Kalimantan Timur: Kab. Nunukan, Kab. Mahakam Ulu.
Provinsi Sulawesi Tengah: Kab. Banggai Kepulauan, Kab. Donggala, Kab. Toli-Toli, Kab. Buol, Kab. Parigi Moutong, Kab. Tojo Una-Una, Kab. Sigi, Kab. Banggai Laut, Kab. Morowali Utara.
Provinsi Sulawesi Selatan: Kab. Janeponto.
Provinsi Sulawesi Tenggara: Kab. Konawe, Kab. Bombana, Kab. Konawe Kepulauan.
Provinsi Gorontalo: Kab. Boalemo, Kab. Pohuwato, Kab. Gorontalo Utara.
Provinsi Sulawesi Barat: Kab. Polewali Mandar, Kab. Mamuju Tengah.
BEBERAPA KABUPATEN DI TANAH PAPUA MASIH MISKIN
Jakarta, Jubi – Kemiskinan di Papua masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai dari waktu ke waktu. Di negara dengan sumber daya alam yang melimpah seperti Indonesia ini nyatanya tidak membuat 28,5 juta jiwa sejahtera. Angka kemiskinan tersebut bisa jadi hampir separuhnya ada di Papua. Demikian pemaparan dari anggota DPR Sulaiman Hamzah dalam seminar yang bertajuk “Pemberdayaan Masyarakat” di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (31/05/2016).
Menurut putra asli Papua ini, tingkat kemiskinan di tanah kelahirannya sudah tergolong struktural. Dari 29 kabupaten yang ada, 27 di antaranya masuk dalam daftar daerah tertinggal dan termiskin, dengan rata-rata penghasilan penduduknya dibawah 2 dolar per hari. Potret kemiskinan tersebut tak kunjung tertangani serius dari waktu ke waktu, kendati otonomi khusus Papua sudah bergulir 15 tahun.
“Potret kemiskinan itu bisa dilihat di sekitar proyek Freeport, kira-kira radius 500 meter sampai dengan 1 km dari luar pagar itu luar biasa keadaannya menyedihkan,” ungkapnya.
Predikat miskin bagi Papua semakin diperparah dengan keengganan generasi mudanya memajukan sektor pertanian dan perikanan. Padahal potensi dua sektor tersebut sangat besar karena puluhan ribuan hektar lahan di sana belum tergarap secara serius. Begitu juga di sektor perikanan, kekayaan laut di Papua belum juga mampu dioptimalkan oleh para putra daerah.
“Generasi muda Papua saat ini tidak tertarik menjadi petani dan nelayan. Mereka hanya mau jadi PNS. Padahal pemerintah bakal mengurangi jumlah PNS,” ujar politisi NasDem ini.
Menurut Sulaiman, dibutuhkan upaya yang serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memaksimalkan dua sektor tersebut supaya ramai peminat.
Ketua Dewan Koperasi Indonesia Wilayah Provinsi Papua ini berpandangan, jika ada pemberian lahan produktif minimal 3 hektar kepada sarjana baru dan asistensi, akan menjadi alternatif program pemberdayaan. Dengan begitu generasi muda akan lebih tertarik untuk menjadi petani.
Upaya lainnya, dia mengusulkan, adalah dengan mekanisasi kehidupan nelayan dengan memproteksi seluruh kegiatan penangkapan ikan dan tata niaganya. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin ketersedian infrastruktur penunjang seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan.
Upaya lainnya, dia mengusulkan, adalah dengan mekanisasi kehidupan nelayan dengan memproteksi seluruh kegiatan penangkapan ikan dan tata niaganya. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin ketersedian infrastruktur penunjang seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan.
Fakta menarik lainnya yang diungkapkan oleh Sulaiman adalah besarnya dana Otsus yang tidak berkontribusi banyak terhadap kesejahteraan masyarakat. Hampir semua dana Otsus habis untuk biaya pemerintahan, bukan untuk pemberdayaan masyarakat. Inilah yang menyebabkan geliat ekonomi di masyarakat tidak muncul setelah 15 tahun Otsus bergulir.
Pada bulan Februari lalu, Johanes De Brito Priyono, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua mengatakan kemiskinan di Papua berkaitan dengan minimnya infrastruktur terkait pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Data yang akurat diperlukan pemerintah untuk membangun masyarakat Papua.
“Mudah-mudahan ini menjadi kiat kita untuk membangun Papua mulai dari data,” kata Priyono.
Ia meanmbahakan, tingkat pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat merupakan barometer BPS dalam mengukur tingkat kemiskinan orang atau keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat suatu kabupaten/kota diharapkan semakin sejahtera masyarakatnya. Inilah yang membuat orang/keluarga bisa keluar dari garis kemiskinan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar